Tulisan Kedua yang di muat FEMINA (april 2012)
Nahhh....kali ini adalah tulisan kedua yang di muat Femina, jaraknya cukup jauh dari yang pertama. April 2012. Nulisnya pun sambil kerja, colong-colong waktu kalau kepala lagi nggak on di kantor. Lalu edit di rumah, edit di kantor, kurang dramatis ...edit lagi...haha.
Untuk honor buat cerpen saya dapat 850 ribu rupiah (kurang lebih). Saat itu harus tanda tangan di atas materai yang menerangkan bahwa karya saya tidak pernah dimuat dimedia manapun dan orisinil. Itu kebijakan dari Femina, untuk melindungi dari para copycat mungkin. Insyaallah saya bukan plagiat. Amin.
Tulisan kali ini berupa cerita pendek dan murni fiksi. Berdasarkan sisi sinisme saya terhadap kesempurnaan seseorang....hehhe. Alias sirik aje. Masa sih ada orang yang begitu 'putih', tapi masa ada juga yang murni 'hitam'? We're only human u know....and humans are not perfect. Always.
By the way, terima kasih lagi Femina karena sudah memuat tulisan saya setelah selama 6 tahun lamanya sibuk kerja dan kejar karir, nabung buat married, melahirkan dan gedein anak. Karya saya yang dimuat lagi ini seperti comeback saya lagi (menurut istilah KPop). Nggak juga sih, sebenarnya sering nulis juga dari 2006-2012, cuma kalau kirim nggak pernah di respon a.k.a di tolak. Wkwkwk....
“Hati itu sering berubah-ubah. Bisa hitam, putih, abu-abu, atau berwujud seperti pelangi. Tergantung caramu mengendalikan setiap warna.”
“Bagaimana kehidupan ini bermula? Dari sesuatu yang putih atau hitam?” tanya Elia kepada Mala pada suatu malam, dalam perjalanan pulang selepas mereka bekerja. Mobil yang dikendarai Mala baru saja melintasi patung Jenderal Sudirman.
“Kau tak perlu menjawabnya. Sudah jelas itu tak penting bagimu,” ujar Elia.
“Aku sudah lelah. Tak ingin berpikir lagi. Lagi pula, mengapa kau berpikir sempit begitu? Apa hidup ini hanya tentang hitam dan putih? Hidup ini penuh warna,” jawab Mala.
“Nah, akhirnya kau menjawab. Tentu saja berwarna. Tapi, itu pada tahap selanjutnya. Sebelum kehidupan itu sendiri lahir, warna apa yang sebenarnya menjadi dasar dari kehidupan?” tanya Elia.
“Entahlah. Kenapa itu begitu penting? Yang penting saat ini adalah bagaimana aku mengemudikan mobil ini dengan benar, agar tak menabrak kendaraan lain,” jawab Mala.
“Oh, mengejutkan sekali Mala, saudariku. Sejak kapan kau mulai begitu khawatir? Apa karena kau sadar aku bisa mengunggulimu dalam proyek kali ini? Setelah semua keberuntungan selalu berpihak kepadamu, kini kau agak gundah. Yah, akhirnya kau tahu bahwa hidup ini tak selamanya tentang dirimu,” ujar Elia, tersenyum jail.
Mala hanya melirik adiknya dengan sedikit keheranan. Wanita itu menduga Elia sedang gembira akan sesuatu.
Bunyi telepon genggam milik Mala memecah hening. Tapi, Mala bergeming. Mengangkat telepon saat sedang mengemudi di belantara Jakarta itu lebih menakutkan daripada berjalan seorang diri di hutan liar.
“Mengapa tak kau angkat?” tanya Elia.
“Jalanan sedang padat. Biarkan saja telepon itu,” jawab Mala.
Elia menyeringai melihat keseriusan Mala mengemudikan mobil. Ia mencuri pandang pada kakaknya itu. Meski sedang gelisah, wajah Mala tetap saja terlihat cantik. Omong kosong dengan hasil perawatan salon. Mala terlahir dengan fisik yang nyaris sempurna.
“Hmm… Miko, pengagummu,” bisik Elia, sambil mengintip layar telepon genggam Mala yang masih terus berbunyi.
“Biarkan saja,” ucap Mala pendek. Matanya masih serius menatap jalanan di depan.
“Sudahlah. Tak apa kalau kau ingin mengangkat telepon itu. Tak perlu merasa sungkan hanya karena aku menyukai pria itu. Andai aku tak pernah menyukainya, kau pasti sudah pacaran dengannya sejak jauh-jauh hari. Tak perlu bersikap sopan seperti itu,” Elia menggoda kakaknya.
Mala tak ingin menjawab ucapan adiknya. Selama ini ia tak pernah menghiraukan ketika orang membanding-bandingkan dirinya dengan adik perempuannya itu. Mereka bertanya, mengapa sebagai kakak adik wajahnya dan Elia tidak mirip. Mengapa pula perangai Elia tak semanis dirinya, dan sebagainya. Kadang-kadang ia ingin mengatakan, “Tentu saja. Kami punya ayah yang berbeda.” Tapi, apa itu perlu diungkapkan? Sama sekali tidak penting.
“Kau tahu? Kalau aku jadi dirimu, aku akan menikmati semua keberuntungan yang Tuhan berikan padaku. Menikmati semua pujian, menikmati jabatan tinggi yang ditawarkan, juga akan mengiyakan ketika pria yang kusukai mengajakku kencan,” bisik Elia, di dekat telinga Mala.
Tapi, Mala diam saja. Ia sibuk membunyikan klakson pada satu dua motor yang tiba-tiba datang dari sebelah kanan dan menyalip laju mobil yang dikemudikannya.
“Kau tahu… sebenarnya kehidupan ini berawal dari putih,” tiba-tiba Elia bicara kembali.
“Elia, kau membahas itu lagi!” seru Mala.
“Hei, ini semua saling berhubungan. Kau tahu, kita lahir dalam keadaan telanjang dan suci. Tapi, dalam sepanjang perjalanan hidup, kita silih berganti menangis dan tertawa. Itu adalah tanda bahwa hitam dan putih mulai berjalan seiring. Tapi, tahun demi tahun, manusia mulai menentukan bahwa hitam dan putih tak bisa lagi berjalan beriringan. Harus ada dominasi. Tubuh tak bisa memiliki dua kepala, begitu pula hati….”
“Kau salah,” Mala memotong ucapan panjang lebar adiknya. “Hati itu sering berubah-ubah. Bisa hitam, putih, abu-abu, atau berwujud seperti pelangi. Tergantung caramu mengendalikan setiap warna,” katanya. Ia merasa gatal juga ingin mengakhiri pembicaraan itu dengan cara yang benar.
“Nah! Kita sudah dalam pembicaraan yang sama sekarang. Hmm… menurutmu begitu? Tapi, dari semua warna, selalu ada yang mendominasi,” kata Elia, senang mendapat respons.
“Apa warna dominan hatimu, Mala?” tiba-tiba ia bertanya.
“Entah, aku tak pernah mencari tahu,” jawab Mala.
“Benarkah? Saat aku sakit, apa yang kau rasakan?” lagi-lagi Elia menggoda saudara
tirinya.
“Tentu sedih,” jawab Mala singkat, tanpa menatap wajah Elia.
“Sedih, atau harus sedih?” Elia menyelidik.
“Kau mempersulit situasi,” jawab Mala, masih menatap tajam ke arah jalan raya.
“Jawablah! Sedih atau harus sedih?”
“Tentu saja sedih, dan sudah seharusnya semua sedih kalau ada saudara yang sedang
sakit!” Mala sebenarnya tak ingin meladeni percakapan yang menurutnya tak penting itu.
“Mengapa harus sedih, Mala? Aku tak pernah sedih ketika kau sakit” jawab Elia, menjebak.
Mala tiba-tiba menoleh, menatap Elia yang duduk di sampingnya.
“Kau tak mengemudikan kendaraan ini dengan baik, Mala,” Elia balik menatap, tersenyum.
“Ah!” Mala kesal. Mobil yang ia kendarai hampir menyenggol mobil sedan di sebelah
kanan.
“Berhenti menggodaku, Elia! Kau akan mencelakakan kita berdua!” Mala mengumpat.
“Siapa bilang aku menggodamu? Aku hanya mengajukan sebuah pertanyaan, dan sebuah pernyataan. Apa yang salah?” Elia membela diri.
Mala kembali menatap jalanan dengan dahi berkerut.
“Lagi pula, aku sungguh-sungguh, Mala. Untuk apa aku harus sedih ketika kau sakit? Ibu akan menangis melihat kau berbaring di ranjang. Saudara-saudara akan menelepon ke rumah kita untuk menanyakan kabarmu. Tante Rika akan sibuk menghubungi rumah sakit, lalu apotek. Ayahmu akan pulang cepat dari kantor. Dan semua sahabat, teman, partner di kantor akan mengirimkan pesan simpatik. Datang sambil membawa karangan bunga, dan buah-buahan yang tak bisa kau makan. Jadi, untuk apa perlu seorang Elia lagi untuk meratapi dirimu? Kau sudah cukup menerima segala cinta yang ada di dunia ini,” Elia kembali mengoceh panjang lebar.
“Elia…,” sahut Mala, perlahan.
“Bagaimana kondisi ketika aku sakit?” Elia tidak menyerah.
“Elia, setiap hasil yang kita terima adalah konsekuensi dari apa yang kita berikan kepada hidup,” jawab Mala, ingin menyudahi keluh kesah adiknya.
“Jadi kau merasa sudah memberi banyak? Apa? Senyum manis? Kata-kata lembut? Apa menurutmu aku kurang mendapat perhatian orang tua kita? Mereka hanya melihatku sebagai variabel yang bisa diturunkan lagi. Tapi, kau adalah bilangan konstan. Seolah kau lahir dalam keindahanmu sendiri, dan aku adalah kutub lain dari dirimu…,” Elia terus melancarkan ‘serangan’.
“Kau hanya berprasangka. Jika kau berpikir seperti itu, maka hidup akan menjadi seperti itu. Dan sudah kukatakan, hidup ini tak selalu hitam putih. Kau akan tersiksa, jika selalu berpikir seperti itu,” Mala masih mencoba menanggapi dengan tenang.
Ia masih bersabar karena merasa tak enak sendiri. Tak jarang ia merasakan ada perbedaan saat orang-orang di sekitarnya memperlakukan dirinya dan saudari tirinya ini. Entahlah. Terkadang ia pun sadar, dirinya memang lebih beruntung. Lalu, apa ia salah karena berpikir demikian?
“Kau benar. Aku sudah sering tersiksa dan ingin mengakhirinya. Aku ingin hidupku lebih berwarna,” Elia berucap lirih.
“Bagus, aku senang mendengarnya.” Mala mengangguk. Terukir senyum di bibirnya.
Sepuluh menit kemudian mereka saling terdiam. Mala jadi bertanya-tanya, apakah Elia memang menemukan kedamaian seperti yang coba ia katakan sebagai warna lain dalam hidupnya. Hanya, sungguh aneh tak lagi mendengar kata-kata penuh kemarahan dalam 10 menit itu. Mala juga menduga-duga mengapa hari ini Elia mau pulang bersamanya. Biasanya, ia selalu menolak jika ditawari tumpangan. Adiknya itu lebih suka naik taksi atau menunggu tumpangan mobil teman lain, bahkan singgah lebih dulu ke tempat hiburan.
Mala jadi sedikit gusar. Biasanya ia akan senang jika sudah melewati Pancoran. Itu artinya mobil bisa ia pacu dengan cepat, menerobos malam di tol Jagorawi. Tapi, kini ia sedang berpikir, kapan tepatnya Elia akan kembali bersuara.
Dua puluh menit berlalu. Hanya ada bunyi klakson mobil dan deru kendaraan di luar.
Tiba-tiba telepon genggam Elia berbunyi. Dengan tenang gadis berambut bob itu mengangkat telepon. Entah dari siapa.
“Ya, aku baik-baik saja. Sedang di daerah MT. Haryono. Tidak begitu macet lagi. Aku menumpang mobil Mala,” katanya, kepada seseorang di ujung sana.
Lama Elia berbicara dengan orang itu. Sedikit-sedikit tertawa manja.
“Wah, kau akhirnya punya pacar, Elia,” Mala berkata, saat Elia menutup telepon.
“Kau ingin tahu, Mala? Hmm… akhirnya kau ingin tahu urusanku,” jawab Elia.
“Elia, apa salahnya kau berbagi cerita kebahagiaanmu?” tanya Mala.
“Entahlah, Mala. Kau tak ingin menjawab pertanyaanku tentang warna dominanmu? Atau setidaknya warnamu yang lain?” Elia kembali melontarkan tanya.
“Ah…Elia! Kau mulai lagi,” Mala merespons, enggan.
Sudah sirna keinginannya untuk mendengar cerita Elia tentang kekasihnya.
Ia mengencangkan volume radio. Namun, Elia juga menambah volume suaranya.
“Kadar cinta seseorang bisa diukur dari seberapa jauh keinginannya untuk menanti. Dan kau begitu percaya diri berpikir bahwa orang yang mencintaimu mau sabar menanti. Kau tahu akibatnya jika terlalu lama membiarkan seseorang menunggu? Kemungkinannya hanya dua: orang itu akan mencoba lebih sabar, atau bosan dan marah,” Elia kembali bicara. Kali ini topik pembicaraan yang dipilihnya sedikit berbeda.
“Apa maksudmu?” tanya Mala.
“Aku sudah lama hidup denganmu. Mengenalmu, temanmu, sahabat-sahabatmu, kekasih, dan para pengagummu. Tak ada sulitnya bagiku untuk mendapat akses ke semua orang yang terhubung denganmu. Termasuk Miko,” Elia memancing.
“Apa yang sekarang sedang kau bicarakan?” Mala terkejut dan curiga.
“Sudah kuduga, kau pasti suka pada Miko. Kau hanya berpura-pura, menahan diri demi seseorang yang sebenarnya tak begitu penting bagimu… aku. Tapi, lebih baik kusampaikan ini dengan jelas dan tak bertele-tele. Tak perlu lagi kau repot-repot membagi hatimu antara dia dan aku. Sikap santunmu untukku terlalu kompleks untuk bisa didefinisikan,” Elia menyusun penjelasannya kata demi kata, tapi masih belum berujung.
“Aku masih belum mengerti maksud ucapanmu,” kata Mala, mulai tak tenang.
“Kau tak berpikir sedang berada dalam lakon cerita Cinta Saga, ‘kan? Mengapa menurutmu seorang Miko dengan bodoh tetap bertahan diam? Bagaimana kau bisa berpikir hatinya terdoktrin hanya pada dirimu?” Elia menantang.
“Cepat katakan apa maksudmu?!” Mala mulai naik pitam.
“Di situlah letak kesombonganmu, Mala. Kau hanya memberiku sebuah peluang untuk menjungkirbalikkan nilai keberuntunganmu. Dan Miko, seperti kebanyakan pria pada umumnya, begitu mudah ditebak. Kau pikir siapa tadi yang menghubungiku?” kata Elia.
“Apa yang sudah kau lakukan?!” Mala berteriak. Matanya bolak-balik menatap jalanan, lalu memandang adiknya.
Elia tertawa.
“Lihatlah dirimu! Seolah aku baru saja menabrak Miko,” katanya.
“Lebih baik kau menabraknya daripada mencoba merebutnya dariku,” Mala berujar sengit.
“Darimu? Sejak kapan kau memiliki hatinya? Hanya aku yang pernah benar-benar sungguh-sungguh dan jujur pada perasaanku…terhadapnya,” Elia tak mau kalah.
“Diam!” Mala kehilangan kesabaran.
Mendadak ia menginjak rem. Mobil terhenti tepat di depan seorang remaja laki-laki yang melintasi jalan raya. Bunyi klakson mobil dan teriakan orang riuh terdengar dari balik kaca jendela mobil. Mala kembali menginjak pedal gas. Seolah tak peduli dengan apa yang baru saja terjadi.
Elia melirik Mala.
“Lihatlah dirimu, Mala. Kau telah berubah menjadi hitam. Kau memiliki warna itu dalam hatimu selama ini,” Elia kembali bersuara.
“Omong kosong! Tapi, kau benar. Jika bukan karena kau saudaraku, aku pasti telah lama mengucilkanmu!” Mala tak bisa menahan diri.
“Benar kan. Kau punya warna hitam.” Elia tertawa.
“Kau pikir kau telah berhasil membuatku keluar dari area putihku? Kau salah, Elia. Aku tak pernah menjadi putih. Aku sesekali menjadi abu-abu, tapi tak pernah meninggalkan warna hitamku!” Mala mempercepat laju mobilnya, melebihi batas kecepatan 100 km/jam.
“Aku lelah mengalah. Aku akan merebut apa yang seharusnya menjadi milikku, Elia!” Mala berteriak.
Tapi, Elia menjawab tenang, “Ya, ya, tentu. Terserah saja. Tapi, ngomong-ngomong, bagaimana bisa kau begitu saja yakin dan percaya bahwa Mikolah yang menghubungiku tadi?”
Mala terenyak. Raut wajahnya yang penuh ketegangan, tiba-tiba melunak.
“Terima kasih telah menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Kau tahu, aku makin terkesan pada kemampuanku memunculkan warna-warni dalam hidup seseorang,” kata Elia, tersenyum lebar.
Mala melotot pada adiknya yang sedang tersenyum penuh kemenangan.
Untuk honor buat cerpen saya dapat 850 ribu rupiah (kurang lebih). Saat itu harus tanda tangan di atas materai yang menerangkan bahwa karya saya tidak pernah dimuat dimedia manapun dan orisinil. Itu kebijakan dari Femina, untuk melindungi dari para copycat mungkin. Insyaallah saya bukan plagiat. Amin.
Tulisan kali ini berupa cerita pendek dan murni fiksi. Berdasarkan sisi sinisme saya terhadap kesempurnaan seseorang....hehhe. Alias sirik aje. Masa sih ada orang yang begitu 'putih', tapi masa ada juga yang murni 'hitam'? We're only human u know....and humans are not perfect. Always.
By the way, terima kasih lagi Femina karena sudah memuat tulisan saya setelah selama 6 tahun lamanya sibuk kerja dan kejar karir, nabung buat married, melahirkan dan gedein anak. Karya saya yang dimuat lagi ini seperti comeback saya lagi (menurut istilah KPop). Nggak juga sih, sebenarnya sering nulis juga dari 2006-2012, cuma kalau kirim nggak pernah di respon a.k.a di tolak. Wkwkwk....
FICTION
Hitam [1]
28 Feb 2013
“Hati itu sering berubah-ubah. Bisa hitam, putih, abu-abu, atau berwujud seperti pelangi. Tergantung caramu mengendalikan setiap warna.”
“Bagaimana kehidupan ini bermula? Dari sesuatu yang putih atau hitam?” tanya Elia kepada Mala pada suatu malam, dalam perjalanan pulang selepas mereka bekerja. Mobil yang dikendarai Mala baru saja melintasi patung Jenderal Sudirman.
“Sudahlah, Elia. Aku terlalu lelah menjawab pertanyaan filosofis seperti itu. Kau tak berharap aku akan menjawabnya, ‘kan?” jawab Mala. Ia tak pernah suka pertanyaan sejenis. Untuk apa harus susah memikirkannya? Kehidupan yang terpapar di depan mata sudah cukup rumit.
“Kau tak perlu menjawabnya. Sudah jelas itu tak penting bagimu,” ujar Elia.
“Aku sudah lelah. Tak ingin berpikir lagi. Lagi pula, mengapa kau berpikir sempit begitu? Apa hidup ini hanya tentang hitam dan putih? Hidup ini penuh warna,” jawab Mala.
“Nah, akhirnya kau menjawab. Tentu saja berwarna. Tapi, itu pada tahap selanjutnya. Sebelum kehidupan itu sendiri lahir, warna apa yang sebenarnya menjadi dasar dari kehidupan?” tanya Elia.
“Entahlah. Kenapa itu begitu penting? Yang penting saat ini adalah bagaimana aku mengemudikan mobil ini dengan benar, agar tak menabrak kendaraan lain,” jawab Mala.
“Oh, mengejutkan sekali Mala, saudariku. Sejak kapan kau mulai begitu khawatir? Apa karena kau sadar aku bisa mengunggulimu dalam proyek kali ini? Setelah semua keberuntungan selalu berpihak kepadamu, kini kau agak gundah. Yah, akhirnya kau tahu bahwa hidup ini tak selamanya tentang dirimu,” ujar Elia, tersenyum jail.
Mala hanya melirik adiknya dengan sedikit keheranan. Wanita itu menduga Elia sedang gembira akan sesuatu.
Bunyi telepon genggam milik Mala memecah hening. Tapi, Mala bergeming. Mengangkat telepon saat sedang mengemudi di belantara Jakarta itu lebih menakutkan daripada berjalan seorang diri di hutan liar.
“Mengapa tak kau angkat?” tanya Elia.
“Jalanan sedang padat. Biarkan saja telepon itu,” jawab Mala.
Elia menyeringai melihat keseriusan Mala mengemudikan mobil. Ia mencuri pandang pada kakaknya itu. Meski sedang gelisah, wajah Mala tetap saja terlihat cantik. Omong kosong dengan hasil perawatan salon. Mala terlahir dengan fisik yang nyaris sempurna.
“Hmm… Miko, pengagummu,” bisik Elia, sambil mengintip layar telepon genggam Mala yang masih terus berbunyi.
“Biarkan saja,” ucap Mala pendek. Matanya masih serius menatap jalanan di depan.
“Sudahlah. Tak apa kalau kau ingin mengangkat telepon itu. Tak perlu merasa sungkan hanya karena aku menyukai pria itu. Andai aku tak pernah menyukainya, kau pasti sudah pacaran dengannya sejak jauh-jauh hari. Tak perlu bersikap sopan seperti itu,” Elia menggoda kakaknya.
Mala tak ingin menjawab ucapan adiknya. Selama ini ia tak pernah menghiraukan ketika orang membanding-bandingkan dirinya dengan adik perempuannya itu. Mereka bertanya, mengapa sebagai kakak adik wajahnya dan Elia tidak mirip. Mengapa pula perangai Elia tak semanis dirinya, dan sebagainya. Kadang-kadang ia ingin mengatakan, “Tentu saja. Kami punya ayah yang berbeda.” Tapi, apa itu perlu diungkapkan? Sama sekali tidak penting.
“Kau tahu? Kalau aku jadi dirimu, aku akan menikmati semua keberuntungan yang Tuhan berikan padaku. Menikmati semua pujian, menikmati jabatan tinggi yang ditawarkan, juga akan mengiyakan ketika pria yang kusukai mengajakku kencan,” bisik Elia, di dekat telinga Mala.
Tapi, Mala diam saja. Ia sibuk membunyikan klakson pada satu dua motor yang tiba-tiba datang dari sebelah kanan dan menyalip laju mobil yang dikemudikannya.
“Kau tahu… sebenarnya kehidupan ini berawal dari putih,” tiba-tiba Elia bicara kembali.
“Elia, kau membahas itu lagi!” seru Mala.
“Hei, ini semua saling berhubungan. Kau tahu, kita lahir dalam keadaan telanjang dan suci. Tapi, dalam sepanjang perjalanan hidup, kita silih berganti menangis dan tertawa. Itu adalah tanda bahwa hitam dan putih mulai berjalan seiring. Tapi, tahun demi tahun, manusia mulai menentukan bahwa hitam dan putih tak bisa lagi berjalan beriringan. Harus ada dominasi. Tubuh tak bisa memiliki dua kepala, begitu pula hati….”
“Kau salah,” Mala memotong ucapan panjang lebar adiknya. “Hati itu sering berubah-ubah. Bisa hitam, putih, abu-abu, atau berwujud seperti pelangi. Tergantung caramu mengendalikan setiap warna,” katanya. Ia merasa gatal juga ingin mengakhiri pembicaraan itu dengan cara yang benar.
“Nah! Kita sudah dalam pembicaraan yang sama sekarang. Hmm… menurutmu begitu? Tapi, dari semua warna, selalu ada yang mendominasi,” kata Elia, senang mendapat respons.
“Apa warna dominan hatimu, Mala?” tiba-tiba ia bertanya.
“Entah, aku tak pernah mencari tahu,” jawab Mala.
“Benarkah? Saat aku sakit, apa yang kau rasakan?” lagi-lagi Elia menggoda saudara
tirinya.
“Tentu sedih,” jawab Mala singkat, tanpa menatap wajah Elia.
“Sedih, atau harus sedih?” Elia menyelidik.
“Kau mempersulit situasi,” jawab Mala, masih menatap tajam ke arah jalan raya.
“Jawablah! Sedih atau harus sedih?”
“Tentu saja sedih, dan sudah seharusnya semua sedih kalau ada saudara yang sedang
sakit!” Mala sebenarnya tak ingin meladeni percakapan yang menurutnya tak penting itu.
“Mengapa harus sedih, Mala? Aku tak pernah sedih ketika kau sakit” jawab Elia, menjebak.
Mala tiba-tiba menoleh, menatap Elia yang duduk di sampingnya.
“Kau tak mengemudikan kendaraan ini dengan baik, Mala,” Elia balik menatap, tersenyum.
“Ah!” Mala kesal. Mobil yang ia kendarai hampir menyenggol mobil sedan di sebelah
kanan.
“Berhenti menggodaku, Elia! Kau akan mencelakakan kita berdua!” Mala mengumpat.
“Siapa bilang aku menggodamu? Aku hanya mengajukan sebuah pertanyaan, dan sebuah pernyataan. Apa yang salah?” Elia membela diri.
Mala kembali menatap jalanan dengan dahi berkerut.
“Lagi pula, aku sungguh-sungguh, Mala. Untuk apa aku harus sedih ketika kau sakit? Ibu akan menangis melihat kau berbaring di ranjang. Saudara-saudara akan menelepon ke rumah kita untuk menanyakan kabarmu. Tante Rika akan sibuk menghubungi rumah sakit, lalu apotek. Ayahmu akan pulang cepat dari kantor. Dan semua sahabat, teman, partner di kantor akan mengirimkan pesan simpatik. Datang sambil membawa karangan bunga, dan buah-buahan yang tak bisa kau makan. Jadi, untuk apa perlu seorang Elia lagi untuk meratapi dirimu? Kau sudah cukup menerima segala cinta yang ada di dunia ini,” Elia kembali mengoceh panjang lebar.
“Elia…,” sahut Mala, perlahan.
“Bagaimana kondisi ketika aku sakit?” Elia tidak menyerah.
“Elia, setiap hasil yang kita terima adalah konsekuensi dari apa yang kita berikan kepada hidup,” jawab Mala, ingin menyudahi keluh kesah adiknya.
“Jadi kau merasa sudah memberi banyak? Apa? Senyum manis? Kata-kata lembut? Apa menurutmu aku kurang mendapat perhatian orang tua kita? Mereka hanya melihatku sebagai variabel yang bisa diturunkan lagi. Tapi, kau adalah bilangan konstan. Seolah kau lahir dalam keindahanmu sendiri, dan aku adalah kutub lain dari dirimu…,” Elia terus melancarkan ‘serangan’.
“Kau hanya berprasangka. Jika kau berpikir seperti itu, maka hidup akan menjadi seperti itu. Dan sudah kukatakan, hidup ini tak selalu hitam putih. Kau akan tersiksa, jika selalu berpikir seperti itu,” Mala masih mencoba menanggapi dengan tenang.
Ia masih bersabar karena merasa tak enak sendiri. Tak jarang ia merasakan ada perbedaan saat orang-orang di sekitarnya memperlakukan dirinya dan saudari tirinya ini. Entahlah. Terkadang ia pun sadar, dirinya memang lebih beruntung. Lalu, apa ia salah karena berpikir demikian?
“Kau benar. Aku sudah sering tersiksa dan ingin mengakhirinya. Aku ingin hidupku lebih berwarna,” Elia berucap lirih.
“Bagus, aku senang mendengarnya.” Mala mengangguk. Terukir senyum di bibirnya.
Sepuluh menit kemudian mereka saling terdiam. Mala jadi bertanya-tanya, apakah Elia memang menemukan kedamaian seperti yang coba ia katakan sebagai warna lain dalam hidupnya. Hanya, sungguh aneh tak lagi mendengar kata-kata penuh kemarahan dalam 10 menit itu. Mala juga menduga-duga mengapa hari ini Elia mau pulang bersamanya. Biasanya, ia selalu menolak jika ditawari tumpangan. Adiknya itu lebih suka naik taksi atau menunggu tumpangan mobil teman lain, bahkan singgah lebih dulu ke tempat hiburan.
Mala jadi sedikit gusar. Biasanya ia akan senang jika sudah melewati Pancoran. Itu artinya mobil bisa ia pacu dengan cepat, menerobos malam di tol Jagorawi. Tapi, kini ia sedang berpikir, kapan tepatnya Elia akan kembali bersuara.
Dua puluh menit berlalu. Hanya ada bunyi klakson mobil dan deru kendaraan di luar.
Tiba-tiba telepon genggam Elia berbunyi. Dengan tenang gadis berambut bob itu mengangkat telepon. Entah dari siapa.
“Ya, aku baik-baik saja. Sedang di daerah MT. Haryono. Tidak begitu macet lagi. Aku menumpang mobil Mala,” katanya, kepada seseorang di ujung sana.
Lama Elia berbicara dengan orang itu. Sedikit-sedikit tertawa manja.
“Wah, kau akhirnya punya pacar, Elia,” Mala berkata, saat Elia menutup telepon.
“Kau ingin tahu, Mala? Hmm… akhirnya kau ingin tahu urusanku,” jawab Elia.
“Elia, apa salahnya kau berbagi cerita kebahagiaanmu?” tanya Mala.
“Entahlah, Mala. Kau tak ingin menjawab pertanyaanku tentang warna dominanmu? Atau setidaknya warnamu yang lain?” Elia kembali melontarkan tanya.
“Ah…Elia! Kau mulai lagi,” Mala merespons, enggan.
Sudah sirna keinginannya untuk mendengar cerita Elia tentang kekasihnya.
Ia mengencangkan volume radio. Namun, Elia juga menambah volume suaranya.
“Kadar cinta seseorang bisa diukur dari seberapa jauh keinginannya untuk menanti. Dan kau begitu percaya diri berpikir bahwa orang yang mencintaimu mau sabar menanti. Kau tahu akibatnya jika terlalu lama membiarkan seseorang menunggu? Kemungkinannya hanya dua: orang itu akan mencoba lebih sabar, atau bosan dan marah,” Elia kembali bicara. Kali ini topik pembicaraan yang dipilihnya sedikit berbeda.
“Apa maksudmu?” tanya Mala.
“Aku sudah lama hidup denganmu. Mengenalmu, temanmu, sahabat-sahabatmu, kekasih, dan para pengagummu. Tak ada sulitnya bagiku untuk mendapat akses ke semua orang yang terhubung denganmu. Termasuk Miko,” Elia memancing.
“Apa yang sekarang sedang kau bicarakan?” Mala terkejut dan curiga.
“Sudah kuduga, kau pasti suka pada Miko. Kau hanya berpura-pura, menahan diri demi seseorang yang sebenarnya tak begitu penting bagimu… aku. Tapi, lebih baik kusampaikan ini dengan jelas dan tak bertele-tele. Tak perlu lagi kau repot-repot membagi hatimu antara dia dan aku. Sikap santunmu untukku terlalu kompleks untuk bisa didefinisikan,” Elia menyusun penjelasannya kata demi kata, tapi masih belum berujung.
“Aku masih belum mengerti maksud ucapanmu,” kata Mala, mulai tak tenang.
“Kau tak berpikir sedang berada dalam lakon cerita Cinta Saga, ‘kan? Mengapa menurutmu seorang Miko dengan bodoh tetap bertahan diam? Bagaimana kau bisa berpikir hatinya terdoktrin hanya pada dirimu?” Elia menantang.
“Cepat katakan apa maksudmu?!” Mala mulai naik pitam.
“Di situlah letak kesombonganmu, Mala. Kau hanya memberiku sebuah peluang untuk menjungkirbalikkan nilai keberuntunganmu. Dan Miko, seperti kebanyakan pria pada umumnya, begitu mudah ditebak. Kau pikir siapa tadi yang menghubungiku?” kata Elia.
“Apa yang sudah kau lakukan?!” Mala berteriak. Matanya bolak-balik menatap jalanan, lalu memandang adiknya.
Elia tertawa.
“Lihatlah dirimu! Seolah aku baru saja menabrak Miko,” katanya.
“Lebih baik kau menabraknya daripada mencoba merebutnya dariku,” Mala berujar sengit.
“Darimu? Sejak kapan kau memiliki hatinya? Hanya aku yang pernah benar-benar sungguh-sungguh dan jujur pada perasaanku…terhadapnya,” Elia tak mau kalah.
“Diam!” Mala kehilangan kesabaran.
Mendadak ia menginjak rem. Mobil terhenti tepat di depan seorang remaja laki-laki yang melintasi jalan raya. Bunyi klakson mobil dan teriakan orang riuh terdengar dari balik kaca jendela mobil. Mala kembali menginjak pedal gas. Seolah tak peduli dengan apa yang baru saja terjadi.
Elia melirik Mala.
“Lihatlah dirimu, Mala. Kau telah berubah menjadi hitam. Kau memiliki warna itu dalam hatimu selama ini,” Elia kembali bersuara.
“Omong kosong! Tapi, kau benar. Jika bukan karena kau saudaraku, aku pasti telah lama mengucilkanmu!” Mala tak bisa menahan diri.
“Benar kan. Kau punya warna hitam.” Elia tertawa.
“Kau pikir kau telah berhasil membuatku keluar dari area putihku? Kau salah, Elia. Aku tak pernah menjadi putih. Aku sesekali menjadi abu-abu, tapi tak pernah meninggalkan warna hitamku!” Mala mempercepat laju mobilnya, melebihi batas kecepatan 100 km/jam.
“Aku lelah mengalah. Aku akan merebut apa yang seharusnya menjadi milikku, Elia!” Mala berteriak.
Tapi, Elia menjawab tenang, “Ya, ya, tentu. Terserah saja. Tapi, ngomong-ngomong, bagaimana bisa kau begitu saja yakin dan percaya bahwa Mikolah yang menghubungiku tadi?”
Mala terenyak. Raut wajahnya yang penuh ketegangan, tiba-tiba melunak.
“Terima kasih telah menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Kau tahu, aku makin terkesan pada kemampuanku memunculkan warna-warni dalam hidup seseorang,” kata Elia, tersenyum lebar.
Mala melotot pada adiknya yang sedang tersenyum penuh kemenangan.
***
Marisa Agustina
Marisa Agustina
Comments
Post a Comment