Shufu (cerita pendek)


            Senyap dalam satu bulan, dua bulan, tiga bulan. Ia melihat ke sekeliling rumahnya. Tak juga merasa kebingungan karena kehilangan suara-suara klakson mobil di jalanan padat ibu kota saat pagi dan malam hari, tak kunjung rindu dengan suasana penuh sesak di commuter line dari Bogor ke arah Jakarta yang sering ia naiki ketika berangkat kerja dari kota Hujan sebelum ia menikah dulu. Ia tak ingin tahu kabar berita orang-orang yang menjadi teman bicaranya selama belasan tahun dikantor. Kadang ia bingung, bagaimana bisa ia bangun jam 4 pagi untuk pergi bekerja jam 5? Lalu selesai bekerja jam 7 malam dan baru sampai rumah pukul 9 atau 10 malam, tergantung kondisi jalan raya jika ia dan suami pulang pergi menggunakan kendaraan pribadi. Membayangkannya saja sekarang seperti tak sanggup. Pergi bekerja jam 5 pagi membutuhkan effort besar.
Enam bulan lalu ia masih berkutat dengan karir tinggi dan reward di kantor, sama sekali tidak terbayangkan kata resign. Masih betah dengan stress di jalan raya, stress di kantor, dan semua persaingan dunia kerja.
Ia sudah begitu lama hidup dalam keinginan manusia lain. Sudah lama kehilangan jati dirinya. Dan kini sudah tak tahu lagi kemana dirinya yang dulu.
“aku sungguh tak pernah menyalahkan orang lain, apalagi orang tuaku, mereka hanya tak mengerti, aku juga tak akan menyalahkan diriku yang bodoh, kami memang bukan orang berkecukupan, tak banyak pilihan untukku atau orangtuaku, kami tak bisa berjudi dalam hidup, tapi…seperti kau tahu, telah begitu lama…aku ingin melepaskan semua yang kumiliki, sudah saatnya. Karena itu Mas, atas seizinmu, aku ingin mengembara mencari diriku….bantu aku untuk membebaskan diriku dari belenggu ini…sanggupkah kau kalau aku berhenti mencari nafkah dari menjadi wanita kantoran pada umumnya?”
  Terakhir 4 bulan lalu Nian minta restu dan izin Mas Bayu untuk resign dari perusahaan tempat ia bekerja, ya pada Mas Bayu suaminya, bukan pada si bos yang bisa datang dan pergi dalam kehidupannya dengan seenaknya. Tentu saja harus seperti itu. Bukan demi sopan santun. Bukan karena ia seorang istri. Tapi ada kondisi ekonomi yang sedang dipertaruhkan. Ada banyak tagihan selama hidupnya. Tak mudah juga bagi Mas Bayu. Ini masalah periuk yang harus terisi. Keputusan yang membingungkan, sampai Mas Bayu sendiri ingin lepas dari beban memikirkan hal itu. Kadang ia menyesal mengapa lebih memilih bekerja dengan penghasilan pas-pasan dan membebani istrinya. Sering ia merasa malu.
Tapi melihat Nian setiap hari berjalan tanpa ruh, tak ada semangat, Mas Bayu merasa menjadi bagian dari manusia-manusia yang sudah bersikap tak adil pada Nian. Siapa dirinya yang berhak memenjara Nian seperti itu, dimana tugasnya sebagai orang yang seharusnya bisa memberi perlindungan pada Nian, bukankah ia punya tanggung jawab untuk membahagiakan Nian? Tapi sekali lagi, ini tak mudah. Ia tak bisa meminta jaminan pada Nian untuk segera menemukan pekerjaan lain yang ia sukai. Untuk segera menulis sebanyak ribuan lembar untuk dikirimkan pada penerbit. Apa bedanya ia dengan si Ronald teman kuliah dikampus dulu yang sekarang sedang jadi bos istrinya itu. Ia ingin Nian bahagia.
Kadang ia ingin bertanya, ini demi kepentingan siapa? Apa Nian pernah memikirkan dirinya atau kedua anak mereka saat ingin memutuskan melepas pekerjaan? Ahhh, pasti sudah. Sudah lama Nian bertahan dalam pekerjaan itu. Sudah puluhan kali ia mengurungkan niat pergi dari perusahaan itu dan berhenti bekerja selamanya. Karena lagi-lagi…
“ada kebutuhan anak untuk sekolah…” atau…
“sampai Mas Bayu memiliki posisi tinggi dan mendapat penghasilan lebih baik, aku akan bertahan dengan pekerjaan ini”
Selalu itu alasannya.
Nian sudah menjadi manajer senior, punya anak buah lebih banyak, artinya sudah begitu lama ia menapaki karir, sudah begitu lama ia bekerja, demi rupiah ia bertahan demi orang-orang disekelilingnya yang ia cintai. Sudah begitu lama.
Sekarang ia hanya sedang berada di titik didih. Sudah saatnya. Ia tak bisa tersiksa lebih lama. Tak pernah ada lagi senyum mengembang sejak pertama kali ia dan Mas Bayu  berjumpa di masa sekolah dulu. Yang terdengar hanya keluh kesah dan …diam. Sudah tak terdengar lagi humor yang membuat Mas Bayu tergelak dan memahami intelegensia seorang Nian. Sudah terlalu lama.
“sekarang banyak metode penerbitan, bisa self publishing, pakai media social, anak muda sekarang punya minat baca yang baik, yaaa…lumayan…tapi itu artinya dunia penulisan sudah lebih baik dari sekian belas tahun lalu” ucap Mas Bayu, suami Nian. Berusaha menyemangati Nian. Istrinya yang seringkali ia temukan sedang merenung di tengah malam yang dingin. Seolah tak yakin besok ingin melanjutkan hidup. Seolah tak lagi ingin melangkah berjuang. Wanita yang tak lagi mengenali bentuk dirinya. Hanya merasa sebagai sebuah angka statistik. Satu dari jutaan manusia yang berbaris rapi dan bergelut dengan hidup. Tak lebih.

            “congratulation….kamu akhirnya memutuskan untuk resign” ucap Zika sehari setelah Nian memberikan surat resign itu.
            Nian merasa seperti kurang tepat menerima ucapan selamat seperti itu. Walau ia tahu akhirnya ia memang patut di acungi jempol karena berani juga mengambil langkah nekad itu.
            “Andai aku bisa seberani dirimu, tanpa pekerjaan pengganti, anak sedang butuh dana sekolah, ekonomi sedang lesu dan banyak PHK” ucap beberapa kolega di tempat kerjanya.
            “isu PHK ini saja sudah sangat membuat resah, kau malah mengajukan diri secara sukarela untuk resign? Wah, kau bermasalah dengan si bos Ronald kah? Kalau tidak, kau pasti akan bertahan 3 bulan lagi menunggu pesangon ratusan juta rupiah dari pensiun dini?”
            “Ha?? Jadi kau hanya resign? Bukan ikut program pensiun dini?”
            “tak ada pekerjaan pengganti? Tidak bekerja lagi? jadi ibu rumah tangga saja?”
            Nian tak ingin menjelaskan apapun. Ini hidupnya yang tak perlu orang lain mengerti. Dan yang orang lain tak tahu adalah betapa Nian sama sekali merasa tak lega. Tentu ia bahagia tak lagi harus berbagi kehidupan dengan manusia lain yang tak berbicara dengan bahasa dan visi yang sama, termasuk dengan orang-orang yang tak mengerti mengapa ia tak secara cerdas ambil bagian dalam program pensiun dini yang ditawarkan perusahaan sebagai solusi mengurangi pegawai. Andai ia bisa ungkapkan betapa 16 tahun adalah siksaan berat dalam hidupnya. Tapi….ia merasa ada hal berat lain yang menanti di depan. Ronald atau siapapun namanya hanya satu manusia lain dalam hidupnya. Tak lebih. Aneh jika ia mengambil keputusan besar berdasarkan sikap anonim seseorang yang tak begitu ia kenal.

            Kadang ia berpikir, seharusnya bisa bertahan sedikit lagi. Seharusnya ia ikut program pensiun dini, bertahan 3 bulan lagi dan mendapat pesangon ratusan juta untuk perbaikan rumah dan memulai usaha. Namun untuk apa penyesalan itu? Sudah, sudahlah, lembaran lalu sudah berlalu. Ia sudah berada pada babak dan lakon yang baru dalam kehidupannya. Tak ada gunanya melirik kembali ke belakang. Dan memang tak perlu ada penyesalan.
            Setelah tiga bulan di rumah menjadi ibu rumah tangga dengan segala kerumitan dan rutinitasnya sendiri, pelan-pelan Nian merasa ada kebahagiaan lain muncul. Andai sejak dulu ia memutuskan resign, andai sejak dulu menghabiskan waktu 24 jam bersama anak sulungnya, kasihan Kayla, ia pasti sedih dan kesepian, merindukan dirinya, menunggu kehadirannya sampai pukul 11 malam. 4 tahun dan masih terjaga pada pukul 11 malam.
Sekarang, ia bisa tahu masalah Kayla, bisa menghabiskan waktu dengan Kayla dan sekolah barunya, Kayla lebih ceria dan percaya diri. Merasa aman ada sang bunda di sisinya. Nian bahkan punya banyak waktu untuk menulis. Ia bahagia menjadi ibu rumah tangga. Penyesalannya kini bukan karena resign, tapi karena ia tak melakukannya sejak lama.
Agar tak terlalu terkejut dengan perubahan, ia mengisi waktu luang dengan mengambil les bahasa Jepang yang sudah lama di postpone. Hanya seminggu sekali saja. Sudah begitu lama dan ia tak punya waktu lagi untuk menjalani hal yang ia suka. Mengapa bahasa Jepang? Entahlah, mungkin dulu ia suka dorama, anime, detective Conan, dulu terpesona tiap kali si mbah bicara bahasa orang Jepun, mbah pernah jadi model untuk Java Shinbun. Mungkin juga saat remaja ia begitu menggilai J-Pop atau J-Rock, mengulang-ulang lagu First Love Utada Hikaru, mengoleksi album L’Arc en Ciel. Entahlah, ia tak harus menjelaskan mengapa ia begitu menyukai seseorang atau sesuatu.
Ia selalu bermimpi bisa kuliah di Jepang dan mendapat beasiswa, tapi sudah begitu terlambat, kini ia hanya dan masih bermimpi bisa pergi ke Jepang. Ia ingin melihat sakura bermekaran, naik shinkansen, melihat Fujiyama, menelusuri sejarah yang di utarakan Eiji Yoshikawa tentang 4 tokoh Shogun termahsyur seperti Nobunaga, Hideyoshi, Mistuhide dan Tokugawa. Melihat Jepang sebenarnya di benteng Osaka. Ingin ia duduk di tepi sungai bening yang syahdu dan menulis banyak-banyak. Lalu berendam dalam air panas. Mungkin di keheningan yang indah dan udara bersih ia bisa mendapat banyak inspirasi. Lagipula ia harus pergi ke tempat lain untuk menambah wawasan, ia tahu ada satu paradigma lama yang harus berubah. Jepang hanya sebuah tempat lain selain disini.
Ia begitu percaya diri karena pernah mengambil les sebelumnya, namun masalah kecil mulai timbul. Saat perkenalan tentu saja ia dan seisi kelas mengucapkan kalimat perkenalan seperti kebiasaan masyarakat Jepang, maka seisi kelas memperkenalkan diri, mulai dari nama, usia dan tempat tinggal.
hajimemashite, ohayoo gozaimashita, watashi wa Yuna desu, Bogoru kara kimashita, Jyu ni sai desu
Nian terkejut karena Yuna, anak perempuan berparas manis yang duduk di disebelahnya ternyata masih berusia 12 tahun. Ini sangat…ridicolous....
“is this a joke? Is this my life now?” Begitu tiba-tiba Nian berpikir secara spontan.
Ia yang begitu terlambat atau orang tua anak itu yang cepat menyadari apa yang harus dikejar sejak dini ? Uuhhh, kesal rasanya.
Tentu saja Mas Bayu tersenyum dan menyemangati Nian saat mendengar cerita  seperti itu. Mas Bayu hanya mengatakan, bahwa mereka memang punya usia dan jiwa muda, tapi Nian punya passion...itu yang tak pernah padam dan akan membuat manusia seperti Nian selalu unggul. Ya passion, tentu saja…ia kembali bersemangat dan percaya diri. Itulah mengapa hari sabtu kini adalah hari paling menyenangkan dalam arti berbeda sekarang. Karena ia melakukan hal yang ia suka sejak dulu.
Namun masalah lain lagi muncul, saat masuk pada pelajaran tentang partikel NO...
Yamada san wa sensei desu. Yamada san wa Sakura Daigakusei no sensei desu” ucap Sensei di kelas.
Untuk mengenal lebih jauh dan melengkapi contoh pelajaran, lalu tiap orang mulai ditanya pekerjaan dan profesi masing-masing.
watashi wa …gakusei desu” jawab Farizu san yang masih berkuliah di semester 2.
watashi wa Merisu no kenkyusha desu” jawab Rima san.
 “watashi wa Mandiri no ginkoin desu” jawab Dina san.
 “watashi wa PT SUBUR no shain desu” jawab Dea san.
Kebanyakan penghuni kelas masih berstatus gakusei atau kaishain. Pelajar dan pekerja. Dan sensei bertanya pada beberapa orang dengan pekerjaan yang menarik perhatian. Seperti Rima san yang merupakan peneliti di sebuah perusahaan farmasi dan sedang mengerjakan sebuah project, Dina san yang merupakan pegawai bank BUMN dan Dea san yang merupakan pegawai sebuah perusahaan multinasional.
Lalu saat tiba sensei bertanya pada Nian.
Watashi wa Shufu desu” jawab Nian pasti dan penuh percaya diri.
Aah soo desu ka....shufu desu…ibu rumah tangga” jawab sensei sambil mengangguk
angguk.  Lalu sudah, sensei tak punya pertanyaan lain untuk Nian.
Nian merasa kering, senyumnya yang tadi mengembang kini tertahan, sedikit merasa tersinggung dan tersentil. Sudah? No further question? Is that it? Selama ini ia merasa selalu menjadi pusat perhatian, apa yang ia lakukan selalu menarik untuk di ceritakan dan didengar, apa yang salah dari dirinya kini? sudah terlalu tua? Atau apa yang salah dengan kata shufu? Apa buruk menjadi seorang ibu rumah tangga saja? Ia jadi sedikit merenung di dalam kelas, ahh…shufu. Bukan profesi yang ingin di dengar seisi kelas, tidak banyak yang penasaran akan profesi shufu. Berdiam di rumah, mengurus anak dan suami, melakukan pekerjaan ibu rumah tangga. Bukan karir impian bagi banyak pemimpi, bagi yang berjiwa muda dan sedang berlari kencang. Bahkan bagi Nian sekalipun. Senyumnya mendadak hilang. Nian menjadi sangat sensitif dan down. Ah, you are a house wife…the end.
 Ia jadi ingin sekali bercerita bahwa dulu ia punya karir belasan tahun di bank swasta nasional ternama di Indonesia. Karirnya cemerlang, jabatan tinggi, punya anak buah, dan resign baru 3 bulan lalu. Ia bahkan tidak tahu menahu caranya menjadi shufu, karena ia adalah seorang shufu baru...bukan seseorang yang puluhan tahun terbiasa menjadi shufu.
Dan hal itu membuatnya merenung, sedikit menyesali keputusan resign. Ia bahkan tak akan menghadiri reuni akbar SMU seangkatannya sabtu besok. Padahal reuni kali ini lebih terkonsep dan lebih baik. Tapi ia tak ingin hadir karena akan secara berulang-ulang menyatakan "baru resign dari bank xx" tiap kali ada yang bertanya bekerja dimana.
Tidak. Ia tidak akan pernah mengakui dirinya adalah shufu. Ia ingin bertukar kartu nama. Tapi Shufu tak punya kartu nama. Orang akan cepat berpaling darinya. Tak ada yang membanggakan dari seorang shufu dengan impian yang terlambat untuk diraih. Semua orang akan tersenyum sinis, puas dengan kondisinya yang tak membanggakan. Phatetic.
Mas Bayu pun heran dan bertanya mengapa Nian tak ikut reuni, Nian hanya beralasan jadwal reuni bentrok dengan jadwal les bahasa Jepang. Hahah. Siapa yang ingin mendahulukan les ketimbang reuni dengan teman lama yang sangat kau rindukan selama belasan tahun? Tidak masuk akal, kecuali kau benci masa SMA.
Tiba-tiba saja Nian merasa tak lagi bernilai. Ia tak secantik dulu, fisiknya menua dimakan usia. Tak punya karir cemerlang. Tak punya daya tarik lagi. Bukan siapa-siapa. Ia tak sudi hadir di reuni manapun. Tak mau hadir tanpa punya sesuatu yang bisa dibanggakan.
“Nian san, mai asa nan ji ni okimasuka?” tanya sensei saat pelajaran mengenai waktu.
Watashi wa, mai asa yo ji ni okimasu” jawab Nian, berharap ucapannya tak salah.
Ahhhh bangun jam 4 tiap pagi....ya kalau ibu rumah tangga selalu bangun lebih pagi. Karena sangat sibuk mempersiapkan ini itu. Sungguh sibuk” ucap sensei sambil tersenyum.
Iie iie....tidak. Nian bahkan tidak tahu dan tidak terbiasa dengan rutinitas seorang ibu rumah tangga. Sejak menjadi pekerja kantoran pun Nian selalu bangun sangat subuh. Tak ada kaitannya dengan menjadi seorang shufu...ah kesal rasanya. Semua jawabannya selama dikelas selalu dihubungkan dengan profesi shufu. Kenapa sih kebiasaan introduction orang jepang harus selalu tahu usia dan profesi. Apa dunia harus tahu usia dan status Nian? Kepo
Ingin sekali ia bilang... Watashi wa Chosha desu I am a writer. Tapi pasti akan ada pertanyaan lanjutan...seperti menulis apa saja, berapa banyak karyanya, nama blog nya apa...
Ia tak akan bisa menjawab. Merasa belum produktif benar......karena ia adalah seorang shufu. Dengan seorang bayi dan balita yang menyita perhatiannya setiap hari. Dua anak yang membutuhkan perhatiannya. Dua anak yang masa depannya ada dalam genggaman Nian. Dua anak yang mampu membuat Nian mengorbankan hal paling berharga secara pribadi. Dua anak dibalik alasan terbesar lain untuk resign. Dua mahluk kecil tempat ia belajar semua kebijaksanaan hidup, dua anak yang memiliki makna sebuah anugerah sekaligus ujian terbesar Nian. Dua anak yang memanggilnya mama...sebuah nama bermakna kasih sayang tanpa syarat. Dua anak yang sejak 3 bulan lalu menjadi begitu bahagia karena bisa mendapat pelukan hangat tiap saat dan merasakan kehadiran serta perlindungan seorang ibu setiap hari. Kehadiran Nian sebagai shufu adalah sebuah priviledge dan anugerah untuk kedua anaknya.
Ia bisa saja berbohong dengan gaya santainya, tapi ia tak ingin tertangkap sebagai si pendusta. Bukankah penulis adalah karir unik yang mengundang pertanyaan orang?
Tentu saja aku adalah seorang shufu....pikir Nian. Apa yang memalukan dari profesi itu. Aku adalah sumber kebahagiaan bagi kedua mahluk kecil itu tanpa orang lain perlu mengerti. Mengapa orang harus merendahkan makna menjadi ibu rumah tangga? Seperti guru TK Kayla yang cemberut karena ia telat menjemput Kayla karena terjebak macet setelah pergi ke Bank.
“mama kan sudah jadi ibu rumah tangga, memang sibuk apa sih sampai telat setengah jam begitu” tanya Bu Eli dengan gaya sinis, seolah protes pada keterlambatan Nian.
Uhhh, tersinggung rasanya. Apa karena Nian ibu rumah tangga dan ia tak boleh punya kesibukan lain diluar menjadi ibu rumah tangga? Lalu apa yang ada dalam pikiran semua orang mengenai peran ibu rumah tangga? Memasak saja? Diam di rumah saja? Bodoh??
“Mama Kayla….arisannya besok sore ya, jangan lupa!!” sahut mbak Dena menghentikan lamunan Nian yang sedang duduk di teras rumah. Lalu orang itu memunggunginya begitu saja tanpa permisi. Padahal 6 bulan lalu Mbak Dena masih bicara dengan gaya yang begitu sopan, memilih kata yang tidak menyinggung, cengengesan sendiri. Kini ia terkesan kurang sopan dan menyepelekan.
Apa salah Nian? Memilih peran sebagai ibu rumah tangga dan bukan wanita karir dengan pakaian dan dandanan lengkap serba rapi yang mengintimidasi perempuan-perempuan seperti Mbak Dena yang tak pernah mengecap kehidupan pekerja kantoran? Wanita kantoran memiliki kedudukan lebih hebat dari seorang ibu rumah tangga? Dan kini ia tak seperti itu lagi? lalu apa artinya ia boleh direndahkan seperti itu? Apa semua masih harus dinilai dari materi dan status? Atau ia sendiri yang begitu naïf?
12 tahun lalu Nian memang sempat resign dari pekerjaan lama, ia resign tanpa pekerjaan pengganti. Saat menjadi pengangguran ia merasa tak berarti, merasa tak punya senjata untuk sekedar bicara, malu keluar rumah dan mendapat pertanyaan dari tetangga. Kini setelah belasan tahun berkarir dan kembali resign ia pikir akan lebih tenang, matang dan bijaksana, tapi ternyata kini ia merasakan hal yang sama. Setidaknya, ia dibuat berpikir seperti itu, bukan atas kemauannya, bukan karena perasaan sensitifnya.

18 tahun ia sudah buktikan sendiri, lelah menjadi bukan seperti yang diinginkannya. Gaji besar, karir baik, sebentar lagi mendapat grade yang memungkinkannya mendapat fasilitas mobil, fasilitas KPR lebih besar, mendapat dividen dari laba perusahaan, plafon asuransi yang lebih baik. Namun tiap hari seperti terbuang tanpa gairah. Rambut putih yang tumbuh subur, kerutan di permukaan wajahnya, ia menjadi lebih tua dari usia yang sebenarnya. Tiap hari bergelut dengan kata makian, dan ungkapan kasar lain ketika beradu argument dengan tim divisi lain, hidupnya semakin ‘sakit’. Ucapan penuh sindiran yang menyakitkan dari si bos. Dari sekian puluh tahun jatah usia yang diberi Tuhan, ia sudah membuang 18 tahun kesempatan hidup dengan perasaan gundah, murung, mengeluh, cemas, stres dan marah. 40 tahun dan sudah merasa lelah. Merasa kotor. Rugi besar.
Masalahnya selama ini ia hanya takut…sudah lama dibuat nyaman. Aman, tak berpikir lagi. Tak berjuang lagi. Hanya perlu menjalani yang sudah ada. Ia pikir sudah mencapai sebuah titik ketika karir sudah di tangan, gaji dan reward ada dalam genggaman. Ia lupa, masih harus berlari dan mencari. Masih perlu mengejar apa yang sejak dulu dicita-citakan, apa yang selalu terucap dan ingin diwujudkan. Justru jauh terlempar ke tempat tergelap yang pernah dimasuki. Ia merasa makin mirip dengan mahluk-mahluk malas di kebun binatang itu. Hanya menunggu daging untuk makan siang dan kehilangan insting berburu.
“kalau kamu kerja kan demi ibadah, demi bantu suami, orang tua dan anakmu. Itu juga mulia, kan? Kenapa kamu terkesan lupa akan semua hal baik yang kamu ciptakan itu?” tanya Zika lagi di email minggu lalu.
“aku tak lupa bersyukur, adik-adik sepupuku bahkan ingin menjalani kehidupan seperti kehidupanku, mengikuti jejakku, aku the brand new role dalam keluarga besar kami…kuliah di kampus bergensi, bekerja gila-gilaan di perusahaan multinational, punya uang banyak, makan di restoran mahal, menikah dengan pesta yang hebat, bulan madu ke Maldives, melunasi hutang orang tua, membelikan ini itu untuk keponakan…bukankah aku anak yang sempurna? Hidupku adalah sebuah impian yang nyata bagi orang-orang di sekelilingku. Orang tua mana yang tak bangga punya anak sepertiku, si anak emas!” ujar Nian sambil tersenyum sinis. Merasa kasihan dengan banyak manusia di sekelilingnya yang belum menyadari hakikat hidup. Tapi apakah hakikat hidup bagi Nian? Bersyukur? Ya, tentu ia tak lupa berucap syukur setiap hari.
 “tapi bukankah alasanmu belum juga melepas kehidupanmu ini karena tak yakin dengan dunia menulis? Reward yang dihasilkan, royalti yang menyedihkan, otakmu hanya di bayar sekedarnya saja, nilai dirimu hanyalah sebuah nama, kau adalah hantu bagi orang-orang yang membaca tulisanmu, kau tak benar-benar nyata…” lanjut Zika, mengingatkan kembali ucapan Nian dulu.
“ya…tapi bodohnya aku masih saja terus menulis. Kurasa pada akhirnya aku bukan sekedar takut akan kehilangan rasa nyaman, tapi….sudah begitu lama aku meninggalkan dunia yang kukenal…terlalu lama, hingga tak kukenali lagi” jawab Nian sambil merenung.
Satu masalah terjawab, muncul masalah lain. Selalu seperti itu.
Kian hari ia terbiasa dengan kondisi ini, sesuatu yang ada dalam genggamannya. Ketika berbalik ia seperti orang-orang dewasa yang mencoba bernostalgia kembali dan melihat kehidupan masa kecil mereka, …tapi tak lagi mengenali padang rumput tempat bermain-main dulu. Sudah hilang entah kemana, tempat ia berlari kesana kemari menebarkan bermacam aura, suara gelak tawa dari dalam batinnya, teriakan tak terbendung yang memperdengarkan suara bahagia, gema dari orang-orang yang sama yang merupakan bagian dalam kelompok bermainnya. Sebuah harmoni yang muncul tiba-tiba, saling bersahutan. Kini yang nampak hanya tanah gersang di kedua matanya. Nian kehilangan gairahnya dalam tulisan. Ia tak mengerti dimana letak kesenangannya lagi. Seperti singa gemuk yang tak punya cakar, dan tak bisa menggigit mangsa. Lemah lunglai, entah kemana jiwanya.

 “Bekerja, resign, mengurus anak. Aku tak akan pernah melarangmu. Asal kau bahagia, aku selalu mendukungmu” jawab Mas Bayu.
Lagipula kini kau pergi ke sekolah bukan demi nilai, bukan untuk berkompetisi, bukan untuk mencari teman, bukan untuk mendengar pendapat orang, kau adalah manusia merdeka dengan banyak asam garam hidup yang sudah tahu akan jalan hidup. Kau ke sekolah itu karena sudah begitu mengenal dirimu, keinginanmu, tahu apa yang tidak kau inginkan. Kau ke sekolah itu karena telah menjadi dirimu sendiri...seorang penulis, seorang ibu rumah tangga. Apapun namanya, apalah bedanya. Tidak begitu penting. Hanya sebuah label. Kau … adalah manusia yang berpijak dan melangkahkan kaki kemanapun dengan sebuah identitas dan sebuah tujuan yang kau tahu benar....Sudah tak ada waktu lagi untuk peduli pada penilaian orang yang tak memberimu apapun dalam hidup. Mengapa kau mau saja orang lain merusak kebahagiaanmu…kau tak lagi di atur oleh hidup” lanjut Mas Bayu. 
Ah...Mas Bayu benar. Semua yang ia lihat di facebook itu dan membuatnya iri, hanya sebuah picture perfect. Seharusnya ia offline saja dari dunia media social. Mas Bayu diam karena begitu sabar dan lelah dengan kemauan Nian. Mengapa Nian lupa. Mengapa ia harus terombang-ambing dalam status dan semua proses pencarian dirinya itu?
Prestasi, prestise, materi? Semua selalu dikejar dan dijaga dengan lelah. Bukankah ilmu yang sedang di kejar ini yang akan selalu menjaganya kelak? Mengapa ia begitu khawatir. Lagipula bisakah ia jelaskan mengapa memperkenalkan diri sebagai shufu dan bukan chosha? Siapa peduli ia salah bicara saat itu? Siapa mau ambil pusing apa ia wanita karir, penulis lepas, atau ibu rumah tangga. Nian hanya orang asing bagi orang asing lain.

“Kau selalu merasa dirimu seorang penulis dan menyebut dirimu chosha…apapun itu, bahkan ditengah kesibukan rutinitas karirmu dikantor. Why shufu now? Mengapa kau memperkenalkan dirimu sebagai seorang shufu? Belum menghasilkan banyak karya? Tidak. Kau tak peduli itu, karena kau selalu menulis, baik itu akan dikirim ke penerbit atau tidak. Di tolak penerbit pun kau masih tersenyum-senyum. Mengapa? Mengapa shufu?” Mas Bayu akhirnya merasa penasaran.
Nian berpikir keras…mengapa tiba-tiba mengaku dengan bangga bahwa ia seorang shufu? Tak biasanya ia tak menjaga gengsi begitu? Mengapa ia begitu yakin dan merasa baik-baik saja ketika mengucapkan kata shufu? Ia hanya tak berpikir dan mengikuti hati?
Karena…karena….karenaa…pada kenyataannya ia kini selalu hadir untuk kedua anaknya, dan itu adalah hal yang tak ternilai dan begitu membahagiakan bagi Nian. Karena… ia merasa terbebaskan, ia bahkan bisa melakukan apapun yang ia mau. Termasuk menulis saat malam tiba ketika kedua anaknya terlelap tidur.
Karenaaa…Nian berpikir shufu adalah sebuah profesi, dan meyakini bahwa dunia ini sudah begitu maju dan modern, dimana pada akhirnya manusia tak lagi memiliki paradigma lama yang begitu merendahkan wanita yang berada di rumah. Bahwa wanita di rumah adalah seorang manajer, seorang perencana, akuntan, supir kedua anaknya, seorang pelaksana, seorang guru, pembimbing, koki, ialah segalanya selama 24 jam.
Tapi, ia salah, sangat naif…kenyataannya cara berpikir masyarakat kebanyakan masih jauh dari itu. Terlalu utopis bagi banyak orang. Masih lama menyadari bahwa jasa tak selamanya di ukur dengan gaji per bulan. Ia pikir semua orang memiliki definisi kebahagiaan yang sama, ia lupa…orang lain berbeda darinya dan mereka belum mengerti kehidupan yang berjarak belasan atau dua puluhan tahun. Ia lupa orang lain belum mencapai tingkat kebijaksanaan yang sama.
Pada akhirnya ini hanya masalah pilihan hidup yang tak perlu diselingi penyesalan, ia pun tak sedang berbicara benar atau salah, ia tak sedang melakukan pembenaran, ia hanya sedang berupaya lebih bahagia. Ia tak akan minta persetujuan orang lain. Dan manusia manapun bisa memilih jalannya sendiri untuk bahagia. Seharusnya tak perlu orang lain untuk menentukan kebahagiaan dirinya. Terserah saja dengan penilaian yang merupakan hasil dari cara berpikir orang lain.
Nian adalah wanita merdeka yang sedang menjalani kehidupan sesuai hati nuraninya.

Minna san, hajimemashite, Watashi wa Nian desu, Shufu desu…doozo yoroshiku onegaishimasu, arigatou gozaimashita


***

By Marisa Agustina

Comments

Popular posts from this blog

Les Renang Harmoni Taman Yasmin Bogor

Ringkasan Cerita Youth Love

Toko seragam dan ATK di Bogor